RSS
Welcome to my Blog... Enjoy reading .... - Dee - :)

Thursday, April 10, 2008

Education, Discipline, Violence and Abuse, and Children's Rights



In everyday, when my son coming back from his school, he always grumbling about his activities in school. He told, that his teacher everytime in a day she always angrily her pupils, situation in his class never cheerfully, however it may be cheerfully if his teacher always be smile and laughing. The pupils must be proper, must be keep sitting quietly, do not noisy.

He said :
"Mommy, I can't learn, I can't concetrate my lesson, she makes me crazy, makes me dizzy, makes me sad, but ... mom, she looks wonderful, looks great and charming, when she like smilling, but when she on quarrelsome and grumbling everytime, I don't like her, I hate her ....!!!"
O dear ... I think, his teacher never appreciate her pupils opinion, I know, she only a young girl, she doesn't know much about the children, she wont her pupils always yielding as like as her, those it makes my son sometimes idlenes for going to school.

So, to make a better future for our children, remembering that children represent those will advance the hopes of the national struggle and have a strategic role, special characteristics and unique position in ensuring the continued existence of the nation and the state of Indonesia in the future, that each child will be able to properly carry out this role, they must be afforded the greatest possible opportunities to optimally develop and grow physically, mentally and socially, and to develop high moral values. Accordingly, it's essential that protection be afforded to children and that their welfare and well being be cultivated through guarantees that their rights will be protected and that they will not be subjected to discriminatory treatment.

Children attending school must be protected against violence and abuse from teachers, school managers, and schoolmates both in the schools and in other educational institutions. (Article 54, Republic of Indonesia Law number 23 Year 2002)
(And all definition law on child protection for education , Article 9, article 48 - 54 Republic of Indonesia Law Number 23 Year 2002)


Kita tidaklah dapat begitu saja menutup mata, atas kenyataan yang terjadi, bahwa ada begitu banyak anak-anak usia sekolah, yang sedang menuntut ilmu di seluruh Indonesia telah menjadi korban kekerasan dalam area pendidikan dengan mengatasnamakan "KEDISIPLINAN". Hal tersebut sebagai pembuktian akurat, bahwa hak-hak mereka sebenarnya telah tercuri, hak-hak mereka sudah dilanggar dan diabaikan begitu saja. Inilah kenyataannya, kita tidak dapat menutup diri dari hal tersebut.
Banyak anak-anak di Indonesia yang menghabiskan waktunya dalam perawatan orang dewasa dalam lingkungan pendidikan dibanding dengan tempat lain manapun di luar rumahnya. Secara otomatis, sekolah memiliki peranan yang penting untuk melindungi anak-anak dari kekerasan. Orang-orang dewasa yang mengawasi, bekerja dan berkepentingan dalam lingkungan pendidikan memiliki tugas dan tanggung jawab untuk menyediakan lingkungan yang aman, yang mendukung dan mempromosikan/mengedepankan martabat dan berkembangan anak.
Kasus-kasus kekerasan di sekolah, dengan alasan penegakan kedisiplinan telah seringkali terjadi, yang dialami ratusan, ribuan bahkan jutaan anak di sekolah.
Seringkali hukuman-hukuman yang mereka terima sangat tak masuk akal, tidak mendidik, caci maki, sindiran-sindiran atas potensi dan kemampuan anak maupun orangtua mereka, ungkapan-ungkapan yang menciutkan potensi anak, telah menjadi pola lumrah yang dilakukan secara terus menerus sebagai sesuatu hal yang biasa dan wajar. Hal tersebut, jika mau dengan sungguh kita sadari, mencerminkan pelanggaran hak kemerdekaan dan hak berkembang anak, itu cukup sebagai suatu bukti, bahwa hak-hak anak telah terabaikan.
Tidak ada satupun kekerasan terhadap anak yang dapat dibenarkan, namun sesungguhnya segala bentuk kekerasan terhadap anak dapat dicegah. Setiap masyarakat, terlepas dari latar belakang, budaya, ekonomi dan sosialnya, dapat dan harus menghentikan kekerasan terhadap anak. Upaya itu ditempuh untuk mengakhiri pembenaran kekerasan terhadap anak oleh orang dewasa,sesuatu yang diterima sebagai “tradisi”, “tersamar/tidak terlihat”, atau sebagai “bentuk disiplin”, tidak lagi boleh ada kompromi dalam menentang kekerasan terhadap anak. Kekhasan anak, keunikannya, potensi dan kerentanannya, ketergantungannya kepada orang dewasa, membuat mereka lebih banyak memerlukan perlindungan dari kekerasan, bukan sebaliknya, memberikan kekerasan kepada mereka.

Kekerasan di lingkungan sekolah, baik itu yang dilakukan oleh guru, karyawan, sesama murid, maupun orangtua murid, selalu anak-anak sebagai korbannya. Sudah sangat banyak bukti atas kekerasan tersebut, banyak contoh kasus kekerasan terhadap anak di lingkungan sekolah.
Seperti telah di uraikan di atas, bagi sebagian besar anak, lingkungan pendidikan menjadi tempat mereka bersentuhan dengan kekerasan dan mungkin juga mengajarkan kekerasan kepada anak. Persepsi umum terdapat kekerasan di lingkungan sekolah telah banyak diwarnai oleh fokus media atas peristiwa-peristiwa luarbiasa yang melibatkan anak sebagai korban utamanya. Kekerasan yang dilakukan oleh guru, staf sekolah lainnya, wali murid, teman-teman mereka, mencakup hukuman fisik, bentuk-bentuk hukuman psikologis yang kejam dan merendahkan martabat, kekerasan berbasis jender, seksual, penggertakan, perkelahian.

"Mengapa setiap kesalahan yang telah diperbuat oleh anak di sekolah/di kelas selalu dianggap sebagai sebuah ketakdisiplinan/pelanggaran dan mengapa hal tersebut selalu harus diikuti dengan sebuah hukuman ... ?????"

Banyak contoh kasus, misalnya:
  • Seorang anak memiliki orangtua yang kaya, yang memiliki kecenderungan membeli guru dengan memberi sejumlah uang dan barang, dengan tujuan agar si guru memprioritaskan anak mereka, baik dalam segi prestasi maupun perhatian, sudah jamak dan lumrah kemudian si guru pada akhirnya loyal kepada orangtua dan si anak, dengan lebih berpihak kepada si anak. Tentu saja anak-anak/murid lain itu menjadi berbeda, terutama cara pandang si guru yang berubah hanya karena orangtua mereka tidak memperlakukan si guru dengan sesuatu hal yang istimewa. Pada akhirnya keberbedaan itu menyebar ke dalam setiap sisi, baik dalam sistim pengajaran di kelas, perbedaan perlakuan, pola perhatian, secara otomatis menjadikan si anak menjadi raja kecil, tuan bagi teman-temannya, "anak special" tetaplah anak special, sementara anak-anak/murid lain tetaplah anak nakal, bodoh, susah di atur, masih perlunya diberi kedisplinan ketat, murid-murid lain itu adalah anak-anak yang tak memiliki kemampuan lebih, sementara, "anak special" adalah anak dengan segudang prestasi dan anak dengan prestasi gemilang. Ah ... ironis sekali. Diskriminasi justru diberikan oleh guru, dimana guru adalah sebagai perpanjangan tangan orangtua dalam mendidik anak-anak, guru yang dianggap sebagai orangtua kedua anak, justru menjerumuskan anak ke dalam sikap moral membeda-bedakan derajat, moral, golongan, jabatan, status sosial dan lainnya. Ya ... betapa ironisnya ...!!
  • Seorang guru, menghukum anak menulis 25 kali kalimat "saya berjanji tidak akan lupa lagi...", kepada anak yang lupa membawa buku pelajaran, dimana hal tersebut justru membuat waktu belajar menjadi tidak efektif, karena kemudian si anak harus menulis sekian banyak tulisan, lupa akan tugas pokok untuk belajar, belum lagi masih ditambah suasana tertekan dan tangisan ketakutan jika esok pagi tidak membawa hasil hukuman.
  • Jika seorang anak di sekolah diminta menjawab satu soal pelajaran, dan anak tersebut memang tak bisa menemukan jawabannya, mengapa harus selalu dikatakan "bodoh" atau "tolol", "hal begitu saja tidak tahu..." hanya karena anak tidak dapat berkonsentrasi memperhatikan penjelasan gurunya, mungkin karena ia sedang sakit, atau ada masalah di dalam keluarganya, atau sebab lainnya. Kenapa kemudian ia harus dihukum dengan cara menulis berpuluh kali, atau berdiri di depan kelas dengan hanya satu kaki, atau bahkan lari mengelilingi lapangan di bawah terik matahari misalnya.
  • Kekerasan yang terjadi di lingkungan sekolah yang dilakukan oleh orangtua murid juga acapkali terjadi. Manakala seorang anak bertengkar dengan temannya, sesuatu yang sesungguhnya wajar terjadi dalam dunia anak-anak, namun justru menjadi sangat tidak wajar ketika orangtua turut campur dalam pertengkaran tersebut. Pengancaman dan intimidasi jamak dilakukan oleh orangtua murid, biasanya banyak terjadi dikarenakan kurang ketatnya pihak sekolah dalam menerapkan peraturan mengenai pengantar siswa, umumnya yang terjadi para orangtua murid/pengantar dibiarkan oleh pihak pengelola sekolah berkeliaran di lingkungan sekolah pada jam-jam sekolah.

Kekerasan seperti tersebut di atas sering terjadi dan menjadikan anak-anak tertekan. Bersekolah dan berpendidikan kemudian menjadi sesuatu yang berat, menegangkan dan penuh keterpaksaan. Jadi janganlah heran jika kualitas pendidikan di Indonesia tidak juga menunjukkan perkembangan yang baik, sebab kebanyakan anak-anak menjalankan proses pendidikan atas dasar ketakutan dan kekhawatiran mendapat hukuman, bukan karena kesadaran proses mencerdaskan diri dan bangsanya.

Diskriminasi adalah bentuk kekerasan yang paling sering terjadi di lingkungan sekolah, hal-hal tersebut di atas adalah bentuk nyata, belum lagi kekerasan bentuk lain yang juga dilakukan oleh karyawan sekolah, sebagai contoh ketika anak-anak perempuan diintip saat sedang berganti baju olahraga. Bahkan orangtua muridpun berperan besar dalam terjadinya tindak kekerasan pada anak di lingkungan sekolah, seperi telah disebut di atas mereka acapkali ikut campur dalam proses interaksi sosial anak-anak, menunjukkan sifat arogan mereka kepada murid-murid yang lain. Pada saat anak-anak terbentur masalah dengan temannya, orangtua malah justru turut mengintimidasi. Siapa yang kaya, itulah yang menang, seperti itulah ternyata hukumnya. Keterlibatan orangtua murid dalam waktu belajar di lingkungan sekolah sesungguhnya sangatlah tidak dibenarkan, namun sayang, sekali lagi seringkali semua hal tersebut, didiamkan oleh pihak pengelola sekolah, mereka dibiarkan berkeliaran di jam-jam sekolah, sehingga membuat mereka merasa berhak untuk turut mengatur semua kepentingan anak di jam anak-anak berada di sekolah. Sangat memprihatinkan ternyata dunia di sekolah, bagi anak-anak ..... mereka tidak aman, tak terlindungi.

Belum lagi caci maki, ungkapan-ungkapan seperti "bodoh", "dungu", "tolol", "tidak bisa di atur", "dasar anak nakal", "kurang ajar", "pengacau", "orangtuamu tidak kaya", "apa orangtuamu mampu", "awas jika kamu tidak nurut saya kamu tidak akan saya pilih lagi" atau sikap dan tindakan menyakitkan lainnya, sering kali terjadi di dalam lingkup kelas dan sekolah.

Setiap anak memiliki hak untuk memperoleh pendidikan. Namun bukan pendidikan yang dipenuhi dengan kekerasan yang memungkinkan terbuka luas praktek-praktek pelanggaran atas hak-haknya yang lain : hak mendapatkan perlindungan, hak-hak mendapatkan kebebasan, hak mengeluarkan pendapat, hak untuk didengarkan, serta hak-hak lainnya.
Kekerasan dalam pendidikan sering tak terasa dan tak disadari. Kekerasan menurut masyarakat cenderung menyangkut kekerasan fisik, padahal seperti yang sering terjadi di lingkungan sekolah, kekerasan non fisik memiliki efek yang lebih besar dan dashyat daripada kekerasan fisik. Kekerasan yang dilakukan secara fisik hanyalah melukai fisik, tetapi kekerasan non fisik, melukai lebih dalam lagi dari tubuh manusia, hal itu mampu menggerogoti secara kronis jiwa, pikiran, perasaan dan masa depan.


Disudutkan atau menyudutkan, didiskriminasi atau mendiskriminasi, dipojokkan atau memojokkan, dipaksa atau memaksa, dihina atau menghina, dilecehkan atau melecehkan, adalah bentuk kekerasan-kekerasan non fisik yang seringkali kita temukan di lingkungan sekolah. Kekerasan semacam itu tak harus selalu berhadapan antara pelaku kekerasan dan korban, namun dapat terjadi melalui peraturan, kebijakan atau tradisi yang turun temurun dipertahankan.

Kekerasan di sekolah acapkali terjadi, dan selalu terjadi karena anak hanya dianggap sebagai obyek, yang akan dan harus menerima apapun dari gurunya, hal mana cenderung memungkinkan berbagai kekerasan terjadi. Itulah bentuk dari dehumanisasi dalam pendidikan, apapun yang terjadi, anak-anak hanya bisa menerima, harus menerima, tidak memiliki hak untuk bertindak, tidak memiliki hak untuk menjawab, apalagi berpendapat, tak ada perlindungan, guru boleh dan berhak "melakukan apapun" untuk alasan "mendidik" dan "mendisiplinkan" anak. Meski secara sengaja atau tidak kekerasan terus menerus terjadi dan tentu saja anak-anak adalah korbannya.

Anak-anak yang menjadi korban tidak dapat berbuat apa-apa untuk menghadapi orang dewasa, mereka takut, dan dibuat ketakutan untuk berbicara. Sebagai korban, anaklah yang akan menanggung berbagai dampak kekerasan tersebut. Secara psikologis anak akan menyimpan semua perasaan takutnya, semua itu ditanggung sendirian. Karena hal-hal itulah, maka di kemudian hari, kemungkinan terbesar anak akan mengalami berbagai macam penyimpangan kepribadian, karena mereka tumbuh berkembang bersama ketidakpercayaan diri, ketakutan, trauma, sehingga akan mengalami penyimpangan dari sisi psikologisnya, seperti pendiam atau sebaliknya menjadi agresif, mudah marah, konsep dirinya negatif, tidak percaya diri, menjadi pribadi arogan memaksakan kehendak, bahkan mudah mengalami depresi dan akan semakin memacu tingginya angka bunuh diri pada anak-anak. Akibat kekerasan, bagi anak mungkin bervariasi menurut sifat dan seberapa parah kekerasan itu, dampak jangka pendek dan jangka panjang sering sangat parah dan merusak. Kekerasan mengakibatkan kerentanan yang lebih besar untuk mengalami gangguan sosial, emosi, dan kognitif selama hidupnya, serta perilaku yang berisiko kesehatan seperti penyalahgunaan obat-obatan terlarang dan perilaku seksual dini, kesehatan mental dan masalah-masalah sosial seperti halnya meliputi gangguan kecemasan, halusinasi dan terhambatnya kinerja yang terkait dengan pekerjaan, gangguan memori, serta perilaku agresif.

Yang paling dikhawatirkan adalah masa depan anak-anak, mereka akan meyakini dan menerima bahwa kekerasan adalah satu-satunya jalan yang wajar untuk menyelesaikan sebuah persoalan. Jika suatu saat mereka menjadi pendidik, mereka akan mengulang pola lama, menganggap wajar menjalankan pendidikan dengan pola kekerasan.
Jadi, inilah yang sesungguhnya terjadi, kekerasan dalam pendidikan diwarisi secara turun temurun, dianggap sebagai sebuah kebiasaan, kelaziman, kewajaran dan tradisi.

Hak-hak anak yang terus diabaikan dan dicuri, terjadi karena dalam lingkungan sekolah, anak-anak tidak pernah diberi ruang kebebasan, untuk berpendapat, untuk menyuarakan hak-haknya, apalagi diberi kesempatan. Mereka dibatasi, kesadaran kritis mereka tidak diperbolehkan untuk berkembang, berpendapat atau hak jawab yang mereka punya/suarakan selalu dianggap sebagai sebuah pembangkangan dan berakhir dengan hukuman. Tidak adanya media bagi anak-anak untuk menuntut dan mempertanyakan hak-haknya. Anak-anak memilih diam, menjadi pribadi bisu dan tuli karena ketidakberdayaan mereka.


Pendidikan di Indonesia kurang mendukung anak untuk berani mengeluarkan pendapat, dengan budaya ketimuran , dimana sejak kecil anak dijejali anggapan bahwa membantah orang yang lebih tua (guru, misalnya) adalah suatu hal yang tidak etis dan harus dihindari. Orang dewasa senang jika anak tidak banyak berbicara (menyuarakan pendapat), diam dan duduk tenang sambil mendengarkan uraian panjang lebar dari mereka. Jika toh ada suatu suara, sanggahan atau mengutarakan pendapat yang berbeda, selalu anak akan di cap sebagai "anak yang suka membantah:, "anak yang tidak sopan", "suka melawan", dan kemudian jika ada berusaha dan berani menyuarakan pendapatnya di depan umum, anak semakin di cap sebagai seseorang yang sok tahu, hingga anak akan dicekal dan kesalahan-kesalahannya akan dihubung-hubungkan dengan banyak hal.


Hal itu terbukti sebagai sebuah realitas yang menggambarkan ketakutan dan ketakmampuan untuk menyuarakan aspirasi mereka. Inilah proses penindasan yang dilakukan oleh orang dewasa dalam lingkup pendidikan, sesuatu yang sangat tidak manusiawi. Anak-anak adalah KORBAN, karena mereka tidak berkuasa untuk menuntut hak-haknya, apalagi menuangkan segala aspirasinya karena otoritas dan kekuasaan guru di kelas sangatlah dominan.

Permasalahan kekerasan di sekolah terlanjur rumit dan kompleks, segala ide dan langkah-langkah yang ditempuh untuk meminimalkan permasalahan terus diperjuangkan, namun semua haruslah didasari dengan kesadaran kritis masing-masing elemen sekolah. Sementara kita tahu, problem kesadaran masyarakat Indonesia belumlah mencapai "Kesadaran Kritis", namun apabila semua mau memperjuangkan bersama-sama kepentingan anak, agar anak tidak lagi kehilangan hak-haknya dan dapat memaksimalkan potensi resistensi mereka demi terpenuhi hak-hak yang mestinya mereka dapatkan, maka semua tadi tidaklah terlalu sulit untuk diwujudkan.

Sesungguhnya anak akan menjadi lebih baik bukan karena kritikan ....!!! Apalagi dengan makian, dan hukuman. Mereka justru menjadi pribadi yang luarbiasa jika diperlakukan sebaik-baiknya perlakuan,karena mereka tahu, mereka merasa diterima, disayangi dan diberi kepercayaan. Hal ini seringkali lepas dari pandangan guru. Seringkali pengabaian perasaan anak terjadi, hanya demi menjadikan anak sesempurna mungkin selayaknya harapan orang dewasa. Perasaan, bagian molekul dari seorang anak, tetapi sangat berharga dalam menentukan kehidupannya sebagai manusia, mereka juga seperti orang dewasa, memiliki perasaan yang patut dihargai.

Apa yang selama ini anak-anak peroleh dari hasil pengajaran selama bertahun-tahun ?? Apakah ilmu yang diajarkan di sekolah sungguh-sungguh bermanfaat bagi kehidupan anak itu ?? Kita tidak pernah tahu .....

Saat anak-anak, tumbuh menjadi dewasa, bekerja dan kemudian berkeluarga, mereka mungkin akan melupakan semua ilmu pengetahuan yang diberikan oleh gurunya, mulai dari tahap sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Namun apabila sejak usia sekolah mereka diajarkan dan diperkenalkan tidak saja hanya penjumlahan, sains ataupun ilmu-ilmu pendidikan lainnya, melainkan juga ""CINTA", "KEBERANIAN" dan "TANGGUNGJAWAB", mereka pasti tidak akan pernah lupa. Hal itu akan melekat dalam diri mereka dan nantinya akan membantu membentuk kepribadian mereka menjadi manusia dewasa yang berkualitas.
Dengan memperhatikan kebutuhan psikologis anak, disamping kecerdasan akademisnya, kita tidak hanya meluluskan generasi muda yang berprestasi, tetapi juga menjadikan mereka manusia yang manusiawi, bermoral dan berkepribadian sehat.


Sebagai langkah awal dan terpenting adalah menumbuhkan kesadaran yang tinggi pada semua pihak :

  • Dari pihak sekolah, perhatian terhadap perlindungan hak-hak anak dan perlindungan kekerasan pada anak, hendaknya mulai diperhatikan secara serius, memberikan suasana dan lingkungan yang aman dan ramah anak, dan kurikulum hendaknya berbasis hak, menyediakan lingkungan di mana sikap-sikap yang mengabaikan kekerasan dapat diubah, perilaku, dan nilai-nilai non kekerasan dapat dipelajari.
  • Kepala Sekolah dan para guru mempergunakan strategi-strategi pembelajaran yang diperbaharui, yaitu dengan strategi pembelajaran yang bersifat non kekerasan dan mengadopsi pengelolaan kelas dan upaya-upaya penegakan kedisiplinan yang tidak didasarkan pada ketakutan, ancaman, penghinaan, pelecehan atau kekuatan fisik.
  • Sekolah menjalankan program-program khusus untuk mencegah dan menurunkan kekerasan untuk menjawab permasalahan-permasalahan di seluruh lingkungan sekolah, termasuk melalui upaya mendorong dikembangkannya ketrampilan-ketrampilan seperti pendekatan non kekerasan terhadap pemecahan konflik, pelaksanaan kebijakan anti perploncoan dan mempromosikan rasa hormat bagi semua anggota komunitas sekolah.
  • Sekolah menjamin bahwa kurikulum, proses pengajaran dan praktek-praktek lainnya sepenuhnya sesuai dengan ketentuan dan prinsip-prinsip Konvensi Hak-Hak Anak, bebas dari rujukan yang secara aktif atau pasif mempromosikan kekerasan dan diskriminasi dalam segala bentuknya.
  • Pada pihak orangtua sendiri, untuk turut serta dalam upaya memberikan pemenuhan hak-haknya, melindungi sebaik-baiknya kepentingan anak, tanpa mengabaikan kepentingan dan hak-hak anak-anak yang lainnya. Serta anak-anak itu sendiri, agar ditumbuhkan kesadaran akan hak-hak mereka.

Semua lapisan masyarakat haruslah bersama-sama berjuang untuk mentransformasikan sikap yang mengabaikan atau memandang normal perilaku kekerasan terhadap anak, termasuk peran gender yang bersifat stereotype, diskriminasi, penerimaan hukuman badan, serta praktek-praktek tradisi yang sangat merugikan tumbuh kembang anak. Hal ini tidak saja melalui pemberian hukuman kepada pelaku kekerasan terhadap anak saja, namun juga melalui komitmen pribadi untuk melakukan transformasi “cara berpikir” untuk dapat mensikapi dan memahami arti pentingnya perlindungan terhadap anak. Penyebaran informasi mengenai hak-hak anak, serta peraturan-peraturan yang berkaitan dengan upaya perlindungan anak hendaknya dipergunakan secara maksimal oleh masyarakat, agar proses transformasi “cara berpikir” masyarakat, membuat kepekaan terhadap efek-efek merugikan dari kekerasan pada anak semakin ditumbuhkan. Media apapun, dapat dipergunakan untuk mempromosikan nilai-nilai non kekerasan. Negara dan pemerintah hendaknya menjamin bahwa hak-hak anak disebarkan dan dipahami oleh masyarakat, termasuk anak itu sendiri

Anak-anak membutuhkan dukungan untuk menghentikan kekerasan terhadap mereka.
Tak ada suara yang dapat diciptakan hanya dengan satu tangan bertepuk ......
Mereka, adalah satu tangan,
kita orang dewasa adalah satu tangan lainnya,
masyarakat juga salah satu tangan,
pemerintah, adalah juga satu tangan lainnya.
Satu kepercayaan mengiringi itu semua ....,
bahwa komunitas yang damai, penuh cinta dan bersatu
dapat di bangun, jika kita semua mau
bekerjasama untuk masa depan

Sudah terlalu banyak anak-anak yang menjadi korban kekerasan.
Tak terhitung anak-anak yang telah terampas dan kehilangan hak-haknya. Sudah saatnya bagi kita semua untuk meredam dan menghentikan semua itu secara total.
Semua demi anak-anak kita juga.
(dari catatan dee, nov 07)

0 komentar:

Powered By Blogger
 
Copyright 2009 CHILDREN ARE THE FUTURE Powered by Blogger
Blogger Templates created by Deluxe Templates
Sponsored by: Premium Templates | Premium Themes. Distributed by: blog template