RSS
Welcome to my Blog... Enjoy reading .... - Dee - :)

Thursday, April 10, 2008

Education, Discipline, Violence and Abuse, and Children's Rights



In everyday, when my son coming back from his school, he always grumbling about his activities in school. He told, that his teacher everytime in a day she always angrily her pupils, situation in his class never cheerfully, however it may be cheerfully if his teacher always be smile and laughing. The pupils must be proper, must be keep sitting quietly, do not noisy.

He said :
"Mommy, I can't learn, I can't concetrate my lesson, she makes me crazy, makes me dizzy, makes me sad, but ... mom, she looks wonderful, looks great and charming, when she like smilling, but when she on quarrelsome and grumbling everytime, I don't like her, I hate her ....!!!"
O dear ... I think, his teacher never appreciate her pupils opinion, I know, she only a young girl, she doesn't know much about the children, she wont her pupils always yielding as like as her, those it makes my son sometimes idlenes for going to school.

So, to make a better future for our children, remembering that children represent those will advance the hopes of the national struggle and have a strategic role, special characteristics and unique position in ensuring the continued existence of the nation and the state of Indonesia in the future, that each child will be able to properly carry out this role, they must be afforded the greatest possible opportunities to optimally develop and grow physically, mentally and socially, and to develop high moral values. Accordingly, it's essential that protection be afforded to children and that their welfare and well being be cultivated through guarantees that their rights will be protected and that they will not be subjected to discriminatory treatment.

Children attending school must be protected against violence and abuse from teachers, school managers, and schoolmates both in the schools and in other educational institutions. (Article 54, Republic of Indonesia Law number 23 Year 2002)
(And all definition law on child protection for education , Article 9, article 48 - 54 Republic of Indonesia Law Number 23 Year 2002)


Kita tidaklah dapat begitu saja menutup mata, atas kenyataan yang terjadi, bahwa ada begitu banyak anak-anak usia sekolah, yang sedang menuntut ilmu di seluruh Indonesia telah menjadi korban kekerasan dalam area pendidikan dengan mengatasnamakan "KEDISIPLINAN". Hal tersebut sebagai pembuktian akurat, bahwa hak-hak mereka sebenarnya telah tercuri, hak-hak mereka sudah dilanggar dan diabaikan begitu saja. Inilah kenyataannya, kita tidak dapat menutup diri dari hal tersebut.
Banyak anak-anak di Indonesia yang menghabiskan waktunya dalam perawatan orang dewasa dalam lingkungan pendidikan dibanding dengan tempat lain manapun di luar rumahnya. Secara otomatis, sekolah memiliki peranan yang penting untuk melindungi anak-anak dari kekerasan. Orang-orang dewasa yang mengawasi, bekerja dan berkepentingan dalam lingkungan pendidikan memiliki tugas dan tanggung jawab untuk menyediakan lingkungan yang aman, yang mendukung dan mempromosikan/mengedepankan martabat dan berkembangan anak.
Kasus-kasus kekerasan di sekolah, dengan alasan penegakan kedisiplinan telah seringkali terjadi, yang dialami ratusan, ribuan bahkan jutaan anak di sekolah.
Seringkali hukuman-hukuman yang mereka terima sangat tak masuk akal, tidak mendidik, caci maki, sindiran-sindiran atas potensi dan kemampuan anak maupun orangtua mereka, ungkapan-ungkapan yang menciutkan potensi anak, telah menjadi pola lumrah yang dilakukan secara terus menerus sebagai sesuatu hal yang biasa dan wajar. Hal tersebut, jika mau dengan sungguh kita sadari, mencerminkan pelanggaran hak kemerdekaan dan hak berkembang anak, itu cukup sebagai suatu bukti, bahwa hak-hak anak telah terabaikan.
Tidak ada satupun kekerasan terhadap anak yang dapat dibenarkan, namun sesungguhnya segala bentuk kekerasan terhadap anak dapat dicegah. Setiap masyarakat, terlepas dari latar belakang, budaya, ekonomi dan sosialnya, dapat dan harus menghentikan kekerasan terhadap anak. Upaya itu ditempuh untuk mengakhiri pembenaran kekerasan terhadap anak oleh orang dewasa,sesuatu yang diterima sebagai “tradisi”, “tersamar/tidak terlihat”, atau sebagai “bentuk disiplin”, tidak lagi boleh ada kompromi dalam menentang kekerasan terhadap anak. Kekhasan anak, keunikannya, potensi dan kerentanannya, ketergantungannya kepada orang dewasa, membuat mereka lebih banyak memerlukan perlindungan dari kekerasan, bukan sebaliknya, memberikan kekerasan kepada mereka.

Kekerasan di lingkungan sekolah, baik itu yang dilakukan oleh guru, karyawan, sesama murid, maupun orangtua murid, selalu anak-anak sebagai korbannya. Sudah sangat banyak bukti atas kekerasan tersebut, banyak contoh kasus kekerasan terhadap anak di lingkungan sekolah.
Seperti telah di uraikan di atas, bagi sebagian besar anak, lingkungan pendidikan menjadi tempat mereka bersentuhan dengan kekerasan dan mungkin juga mengajarkan kekerasan kepada anak. Persepsi umum terdapat kekerasan di lingkungan sekolah telah banyak diwarnai oleh fokus media atas peristiwa-peristiwa luarbiasa yang melibatkan anak sebagai korban utamanya. Kekerasan yang dilakukan oleh guru, staf sekolah lainnya, wali murid, teman-teman mereka, mencakup hukuman fisik, bentuk-bentuk hukuman psikologis yang kejam dan merendahkan martabat, kekerasan berbasis jender, seksual, penggertakan, perkelahian.

"Mengapa setiap kesalahan yang telah diperbuat oleh anak di sekolah/di kelas selalu dianggap sebagai sebuah ketakdisiplinan/pelanggaran dan mengapa hal tersebut selalu harus diikuti dengan sebuah hukuman ... ?????"

Banyak contoh kasus, misalnya:
  • Seorang anak memiliki orangtua yang kaya, yang memiliki kecenderungan membeli guru dengan memberi sejumlah uang dan barang, dengan tujuan agar si guru memprioritaskan anak mereka, baik dalam segi prestasi maupun perhatian, sudah jamak dan lumrah kemudian si guru pada akhirnya loyal kepada orangtua dan si anak, dengan lebih berpihak kepada si anak. Tentu saja anak-anak/murid lain itu menjadi berbeda, terutama cara pandang si guru yang berubah hanya karena orangtua mereka tidak memperlakukan si guru dengan sesuatu hal yang istimewa. Pada akhirnya keberbedaan itu menyebar ke dalam setiap sisi, baik dalam sistim pengajaran di kelas, perbedaan perlakuan, pola perhatian, secara otomatis menjadikan si anak menjadi raja kecil, tuan bagi teman-temannya, "anak special" tetaplah anak special, sementara anak-anak/murid lain tetaplah anak nakal, bodoh, susah di atur, masih perlunya diberi kedisplinan ketat, murid-murid lain itu adalah anak-anak yang tak memiliki kemampuan lebih, sementara, "anak special" adalah anak dengan segudang prestasi dan anak dengan prestasi gemilang. Ah ... ironis sekali. Diskriminasi justru diberikan oleh guru, dimana guru adalah sebagai perpanjangan tangan orangtua dalam mendidik anak-anak, guru yang dianggap sebagai orangtua kedua anak, justru menjerumuskan anak ke dalam sikap moral membeda-bedakan derajat, moral, golongan, jabatan, status sosial dan lainnya. Ya ... betapa ironisnya ...!!
  • Seorang guru, menghukum anak menulis 25 kali kalimat "saya berjanji tidak akan lupa lagi...", kepada anak yang lupa membawa buku pelajaran, dimana hal tersebut justru membuat waktu belajar menjadi tidak efektif, karena kemudian si anak harus menulis sekian banyak tulisan, lupa akan tugas pokok untuk belajar, belum lagi masih ditambah suasana tertekan dan tangisan ketakutan jika esok pagi tidak membawa hasil hukuman.
  • Jika seorang anak di sekolah diminta menjawab satu soal pelajaran, dan anak tersebut memang tak bisa menemukan jawabannya, mengapa harus selalu dikatakan "bodoh" atau "tolol", "hal begitu saja tidak tahu..." hanya karena anak tidak dapat berkonsentrasi memperhatikan penjelasan gurunya, mungkin karena ia sedang sakit, atau ada masalah di dalam keluarganya, atau sebab lainnya. Kenapa kemudian ia harus dihukum dengan cara menulis berpuluh kali, atau berdiri di depan kelas dengan hanya satu kaki, atau bahkan lari mengelilingi lapangan di bawah terik matahari misalnya.
  • Kekerasan yang terjadi di lingkungan sekolah yang dilakukan oleh orangtua murid juga acapkali terjadi. Manakala seorang anak bertengkar dengan temannya, sesuatu yang sesungguhnya wajar terjadi dalam dunia anak-anak, namun justru menjadi sangat tidak wajar ketika orangtua turut campur dalam pertengkaran tersebut. Pengancaman dan intimidasi jamak dilakukan oleh orangtua murid, biasanya banyak terjadi dikarenakan kurang ketatnya pihak sekolah dalam menerapkan peraturan mengenai pengantar siswa, umumnya yang terjadi para orangtua murid/pengantar dibiarkan oleh pihak pengelola sekolah berkeliaran di lingkungan sekolah pada jam-jam sekolah.

Kekerasan seperti tersebut di atas sering terjadi dan menjadikan anak-anak tertekan. Bersekolah dan berpendidikan kemudian menjadi sesuatu yang berat, menegangkan dan penuh keterpaksaan. Jadi janganlah heran jika kualitas pendidikan di Indonesia tidak juga menunjukkan perkembangan yang baik, sebab kebanyakan anak-anak menjalankan proses pendidikan atas dasar ketakutan dan kekhawatiran mendapat hukuman, bukan karena kesadaran proses mencerdaskan diri dan bangsanya.

Diskriminasi adalah bentuk kekerasan yang paling sering terjadi di lingkungan sekolah, hal-hal tersebut di atas adalah bentuk nyata, belum lagi kekerasan bentuk lain yang juga dilakukan oleh karyawan sekolah, sebagai contoh ketika anak-anak perempuan diintip saat sedang berganti baju olahraga. Bahkan orangtua muridpun berperan besar dalam terjadinya tindak kekerasan pada anak di lingkungan sekolah, seperi telah disebut di atas mereka acapkali ikut campur dalam proses interaksi sosial anak-anak, menunjukkan sifat arogan mereka kepada murid-murid yang lain. Pada saat anak-anak terbentur masalah dengan temannya, orangtua malah justru turut mengintimidasi. Siapa yang kaya, itulah yang menang, seperti itulah ternyata hukumnya. Keterlibatan orangtua murid dalam waktu belajar di lingkungan sekolah sesungguhnya sangatlah tidak dibenarkan, namun sayang, sekali lagi seringkali semua hal tersebut, didiamkan oleh pihak pengelola sekolah, mereka dibiarkan berkeliaran di jam-jam sekolah, sehingga membuat mereka merasa berhak untuk turut mengatur semua kepentingan anak di jam anak-anak berada di sekolah. Sangat memprihatinkan ternyata dunia di sekolah, bagi anak-anak ..... mereka tidak aman, tak terlindungi.

Belum lagi caci maki, ungkapan-ungkapan seperti "bodoh", "dungu", "tolol", "tidak bisa di atur", "dasar anak nakal", "kurang ajar", "pengacau", "orangtuamu tidak kaya", "apa orangtuamu mampu", "awas jika kamu tidak nurut saya kamu tidak akan saya pilih lagi" atau sikap dan tindakan menyakitkan lainnya, sering kali terjadi di dalam lingkup kelas dan sekolah.

Setiap anak memiliki hak untuk memperoleh pendidikan. Namun bukan pendidikan yang dipenuhi dengan kekerasan yang memungkinkan terbuka luas praktek-praktek pelanggaran atas hak-haknya yang lain : hak mendapatkan perlindungan, hak-hak mendapatkan kebebasan, hak mengeluarkan pendapat, hak untuk didengarkan, serta hak-hak lainnya.
Kekerasan dalam pendidikan sering tak terasa dan tak disadari. Kekerasan menurut masyarakat cenderung menyangkut kekerasan fisik, padahal seperti yang sering terjadi di lingkungan sekolah, kekerasan non fisik memiliki efek yang lebih besar dan dashyat daripada kekerasan fisik. Kekerasan yang dilakukan secara fisik hanyalah melukai fisik, tetapi kekerasan non fisik, melukai lebih dalam lagi dari tubuh manusia, hal itu mampu menggerogoti secara kronis jiwa, pikiran, perasaan dan masa depan.


Disudutkan atau menyudutkan, didiskriminasi atau mendiskriminasi, dipojokkan atau memojokkan, dipaksa atau memaksa, dihina atau menghina, dilecehkan atau melecehkan, adalah bentuk kekerasan-kekerasan non fisik yang seringkali kita temukan di lingkungan sekolah. Kekerasan semacam itu tak harus selalu berhadapan antara pelaku kekerasan dan korban, namun dapat terjadi melalui peraturan, kebijakan atau tradisi yang turun temurun dipertahankan.

Kekerasan di sekolah acapkali terjadi, dan selalu terjadi karena anak hanya dianggap sebagai obyek, yang akan dan harus menerima apapun dari gurunya, hal mana cenderung memungkinkan berbagai kekerasan terjadi. Itulah bentuk dari dehumanisasi dalam pendidikan, apapun yang terjadi, anak-anak hanya bisa menerima, harus menerima, tidak memiliki hak untuk bertindak, tidak memiliki hak untuk menjawab, apalagi berpendapat, tak ada perlindungan, guru boleh dan berhak "melakukan apapun" untuk alasan "mendidik" dan "mendisiplinkan" anak. Meski secara sengaja atau tidak kekerasan terus menerus terjadi dan tentu saja anak-anak adalah korbannya.

Anak-anak yang menjadi korban tidak dapat berbuat apa-apa untuk menghadapi orang dewasa, mereka takut, dan dibuat ketakutan untuk berbicara. Sebagai korban, anaklah yang akan menanggung berbagai dampak kekerasan tersebut. Secara psikologis anak akan menyimpan semua perasaan takutnya, semua itu ditanggung sendirian. Karena hal-hal itulah, maka di kemudian hari, kemungkinan terbesar anak akan mengalami berbagai macam penyimpangan kepribadian, karena mereka tumbuh berkembang bersama ketidakpercayaan diri, ketakutan, trauma, sehingga akan mengalami penyimpangan dari sisi psikologisnya, seperti pendiam atau sebaliknya menjadi agresif, mudah marah, konsep dirinya negatif, tidak percaya diri, menjadi pribadi arogan memaksakan kehendak, bahkan mudah mengalami depresi dan akan semakin memacu tingginya angka bunuh diri pada anak-anak. Akibat kekerasan, bagi anak mungkin bervariasi menurut sifat dan seberapa parah kekerasan itu, dampak jangka pendek dan jangka panjang sering sangat parah dan merusak. Kekerasan mengakibatkan kerentanan yang lebih besar untuk mengalami gangguan sosial, emosi, dan kognitif selama hidupnya, serta perilaku yang berisiko kesehatan seperti penyalahgunaan obat-obatan terlarang dan perilaku seksual dini, kesehatan mental dan masalah-masalah sosial seperti halnya meliputi gangguan kecemasan, halusinasi dan terhambatnya kinerja yang terkait dengan pekerjaan, gangguan memori, serta perilaku agresif.

Yang paling dikhawatirkan adalah masa depan anak-anak, mereka akan meyakini dan menerima bahwa kekerasan adalah satu-satunya jalan yang wajar untuk menyelesaikan sebuah persoalan. Jika suatu saat mereka menjadi pendidik, mereka akan mengulang pola lama, menganggap wajar menjalankan pendidikan dengan pola kekerasan.
Jadi, inilah yang sesungguhnya terjadi, kekerasan dalam pendidikan diwarisi secara turun temurun, dianggap sebagai sebuah kebiasaan, kelaziman, kewajaran dan tradisi.

Hak-hak anak yang terus diabaikan dan dicuri, terjadi karena dalam lingkungan sekolah, anak-anak tidak pernah diberi ruang kebebasan, untuk berpendapat, untuk menyuarakan hak-haknya, apalagi diberi kesempatan. Mereka dibatasi, kesadaran kritis mereka tidak diperbolehkan untuk berkembang, berpendapat atau hak jawab yang mereka punya/suarakan selalu dianggap sebagai sebuah pembangkangan dan berakhir dengan hukuman. Tidak adanya media bagi anak-anak untuk menuntut dan mempertanyakan hak-haknya. Anak-anak memilih diam, menjadi pribadi bisu dan tuli karena ketidakberdayaan mereka.


Pendidikan di Indonesia kurang mendukung anak untuk berani mengeluarkan pendapat, dengan budaya ketimuran , dimana sejak kecil anak dijejali anggapan bahwa membantah orang yang lebih tua (guru, misalnya) adalah suatu hal yang tidak etis dan harus dihindari. Orang dewasa senang jika anak tidak banyak berbicara (menyuarakan pendapat), diam dan duduk tenang sambil mendengarkan uraian panjang lebar dari mereka. Jika toh ada suatu suara, sanggahan atau mengutarakan pendapat yang berbeda, selalu anak akan di cap sebagai "anak yang suka membantah:, "anak yang tidak sopan", "suka melawan", dan kemudian jika ada berusaha dan berani menyuarakan pendapatnya di depan umum, anak semakin di cap sebagai seseorang yang sok tahu, hingga anak akan dicekal dan kesalahan-kesalahannya akan dihubung-hubungkan dengan banyak hal.


Hal itu terbukti sebagai sebuah realitas yang menggambarkan ketakutan dan ketakmampuan untuk menyuarakan aspirasi mereka. Inilah proses penindasan yang dilakukan oleh orang dewasa dalam lingkup pendidikan, sesuatu yang sangat tidak manusiawi. Anak-anak adalah KORBAN, karena mereka tidak berkuasa untuk menuntut hak-haknya, apalagi menuangkan segala aspirasinya karena otoritas dan kekuasaan guru di kelas sangatlah dominan.

Permasalahan kekerasan di sekolah terlanjur rumit dan kompleks, segala ide dan langkah-langkah yang ditempuh untuk meminimalkan permasalahan terus diperjuangkan, namun semua haruslah didasari dengan kesadaran kritis masing-masing elemen sekolah. Sementara kita tahu, problem kesadaran masyarakat Indonesia belumlah mencapai "Kesadaran Kritis", namun apabila semua mau memperjuangkan bersama-sama kepentingan anak, agar anak tidak lagi kehilangan hak-haknya dan dapat memaksimalkan potensi resistensi mereka demi terpenuhi hak-hak yang mestinya mereka dapatkan, maka semua tadi tidaklah terlalu sulit untuk diwujudkan.

Sesungguhnya anak akan menjadi lebih baik bukan karena kritikan ....!!! Apalagi dengan makian, dan hukuman. Mereka justru menjadi pribadi yang luarbiasa jika diperlakukan sebaik-baiknya perlakuan,karena mereka tahu, mereka merasa diterima, disayangi dan diberi kepercayaan. Hal ini seringkali lepas dari pandangan guru. Seringkali pengabaian perasaan anak terjadi, hanya demi menjadikan anak sesempurna mungkin selayaknya harapan orang dewasa. Perasaan, bagian molekul dari seorang anak, tetapi sangat berharga dalam menentukan kehidupannya sebagai manusia, mereka juga seperti orang dewasa, memiliki perasaan yang patut dihargai.

Apa yang selama ini anak-anak peroleh dari hasil pengajaran selama bertahun-tahun ?? Apakah ilmu yang diajarkan di sekolah sungguh-sungguh bermanfaat bagi kehidupan anak itu ?? Kita tidak pernah tahu .....

Saat anak-anak, tumbuh menjadi dewasa, bekerja dan kemudian berkeluarga, mereka mungkin akan melupakan semua ilmu pengetahuan yang diberikan oleh gurunya, mulai dari tahap sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Namun apabila sejak usia sekolah mereka diajarkan dan diperkenalkan tidak saja hanya penjumlahan, sains ataupun ilmu-ilmu pendidikan lainnya, melainkan juga ""CINTA", "KEBERANIAN" dan "TANGGUNGJAWAB", mereka pasti tidak akan pernah lupa. Hal itu akan melekat dalam diri mereka dan nantinya akan membantu membentuk kepribadian mereka menjadi manusia dewasa yang berkualitas.
Dengan memperhatikan kebutuhan psikologis anak, disamping kecerdasan akademisnya, kita tidak hanya meluluskan generasi muda yang berprestasi, tetapi juga menjadikan mereka manusia yang manusiawi, bermoral dan berkepribadian sehat.


Sebagai langkah awal dan terpenting adalah menumbuhkan kesadaran yang tinggi pada semua pihak :

  • Dari pihak sekolah, perhatian terhadap perlindungan hak-hak anak dan perlindungan kekerasan pada anak, hendaknya mulai diperhatikan secara serius, memberikan suasana dan lingkungan yang aman dan ramah anak, dan kurikulum hendaknya berbasis hak, menyediakan lingkungan di mana sikap-sikap yang mengabaikan kekerasan dapat diubah, perilaku, dan nilai-nilai non kekerasan dapat dipelajari.
  • Kepala Sekolah dan para guru mempergunakan strategi-strategi pembelajaran yang diperbaharui, yaitu dengan strategi pembelajaran yang bersifat non kekerasan dan mengadopsi pengelolaan kelas dan upaya-upaya penegakan kedisiplinan yang tidak didasarkan pada ketakutan, ancaman, penghinaan, pelecehan atau kekuatan fisik.
  • Sekolah menjalankan program-program khusus untuk mencegah dan menurunkan kekerasan untuk menjawab permasalahan-permasalahan di seluruh lingkungan sekolah, termasuk melalui upaya mendorong dikembangkannya ketrampilan-ketrampilan seperti pendekatan non kekerasan terhadap pemecahan konflik, pelaksanaan kebijakan anti perploncoan dan mempromosikan rasa hormat bagi semua anggota komunitas sekolah.
  • Sekolah menjamin bahwa kurikulum, proses pengajaran dan praktek-praktek lainnya sepenuhnya sesuai dengan ketentuan dan prinsip-prinsip Konvensi Hak-Hak Anak, bebas dari rujukan yang secara aktif atau pasif mempromosikan kekerasan dan diskriminasi dalam segala bentuknya.
  • Pada pihak orangtua sendiri, untuk turut serta dalam upaya memberikan pemenuhan hak-haknya, melindungi sebaik-baiknya kepentingan anak, tanpa mengabaikan kepentingan dan hak-hak anak-anak yang lainnya. Serta anak-anak itu sendiri, agar ditumbuhkan kesadaran akan hak-hak mereka.

Semua lapisan masyarakat haruslah bersama-sama berjuang untuk mentransformasikan sikap yang mengabaikan atau memandang normal perilaku kekerasan terhadap anak, termasuk peran gender yang bersifat stereotype, diskriminasi, penerimaan hukuman badan, serta praktek-praktek tradisi yang sangat merugikan tumbuh kembang anak. Hal ini tidak saja melalui pemberian hukuman kepada pelaku kekerasan terhadap anak saja, namun juga melalui komitmen pribadi untuk melakukan transformasi “cara berpikir” untuk dapat mensikapi dan memahami arti pentingnya perlindungan terhadap anak. Penyebaran informasi mengenai hak-hak anak, serta peraturan-peraturan yang berkaitan dengan upaya perlindungan anak hendaknya dipergunakan secara maksimal oleh masyarakat, agar proses transformasi “cara berpikir” masyarakat, membuat kepekaan terhadap efek-efek merugikan dari kekerasan pada anak semakin ditumbuhkan. Media apapun, dapat dipergunakan untuk mempromosikan nilai-nilai non kekerasan. Negara dan pemerintah hendaknya menjamin bahwa hak-hak anak disebarkan dan dipahami oleh masyarakat, termasuk anak itu sendiri

Anak-anak membutuhkan dukungan untuk menghentikan kekerasan terhadap mereka.
Tak ada suara yang dapat diciptakan hanya dengan satu tangan bertepuk ......
Mereka, adalah satu tangan,
kita orang dewasa adalah satu tangan lainnya,
masyarakat juga salah satu tangan,
pemerintah, adalah juga satu tangan lainnya.
Satu kepercayaan mengiringi itu semua ....,
bahwa komunitas yang damai, penuh cinta dan bersatu
dapat di bangun, jika kita semua mau
bekerjasama untuk masa depan

Sudah terlalu banyak anak-anak yang menjadi korban kekerasan.
Tak terhitung anak-anak yang telah terampas dan kehilangan hak-haknya. Sudah saatnya bagi kita semua untuk meredam dan menghentikan semua itu secara total.
Semua demi anak-anak kita juga.
(dari catatan dee, nov 07)

Tuesday, April 8, 2008

Children Say "NO SMOKING AREA ..!!"


My son Nicko always protest and remembering his uncle, when his uncle get smoked a cigarette near him, he always told like this, that smoked can be makes him death. So in daily activities, he always make some pictures, he is drawing in every papers, in every places, every times he can do to draw his opinions. It's amazing for me and my husband, his voices and opinions is very kindly, his uncle actually stoped smoking and now his life more healthy. Thanks son ... you can change the world with your voices. Mommy and Daddy very proud of you .....

The government or an authorized state institution shall be responsible and accountable for providing special protection to children in emergency situations, children in contact with the law, children from minority and isolated groups, children being exploited economically or sexually, children who are trade, children who become the victims of the misuse of narcotics, alcohol, psychotropic sustances and other addictive substances, children who are the victims of kidnapping, sale and trading, children who are the victims of both physical and/or mental violence, and neglected/abandoned children (Article 59 Law Number 23 Year 2002)

Give the children a voice, let us be a part of the creation of our world.


Full of vitality, creativity and drive, children and adolescents can make a major contribution to their society. Ensuring children's rights to participation, a tenet of the Convention on Rights of The Child, is vital to promoting leadership and good citizenship. Working with children is important as working for them, and value them as essensial partners in all our work, especially to build the Global Movement for children.


Every child shall be entitled to speak and have his/her opinions listened to, and to receive, seek and impart information in accordance with his/her intellect and age for the sake of his/her personal development in accordance with the norms of normality and propriety (article 10 Law Number 23 Year 2002).

Every child shall be entitled to rest and enjoy free time, to mix with other children of his/her own age, to play, enjoy recreation, and to give expression to his/her creativity in accordance with his/her interest, talents, and intellect for the sake of his/her personal development. (article 11 Law Number 23 year 2002)

To the children of the world, I would like to say : YOU ARE MY LIFE'S WORK

The following definitions shall apply in a Law on Child Protection (Republic of Indonesia Law Number 23 Year 2002) :

  • A Child, shall mean a person under eighteen (18) years of age, including the unborn.
  • Protection of Children, shall mean all activities designed to guarantee and protect children and their rights so that they may live, grow, develop and participate optimally in society in accordance with the dignity to which they are entitled as human beings, and so that they may be protected against violence and discrimination.
  • Family, shall mean the smallest unit in society and shall consist of a husband and wife, or husband, wife and child, or father and child, or mother and child, or a family consisting of bllods relations in a straight line up to the third degree.
  • Parent, shall mean a natural father and/or mother, or stepfather and/or mother, or adoptive father and/or mother.
  • Guardian, shall mean a person or body that acts in loco parentis of child.
  • Neglected/Abandoned Child, shall mean a child whose reasonable needs, wheter physical, mental, spiritual or social, are not fulfilled.
  • Disabled Child, shall mean a child who suffers from a physical or mental disability that interferes with his normal growth and development.
  • Gifted Child, shall mean a child that is blessed with exceptional intelligence, potential or gifts.
  • Adopted Child, shall mean a child over whom rights have been assigned by his parents, lawful guardians, or such other persons as may have responsibility in respect of his unkeep, education and upbringing to adoptive parents pursuant to a decision or ruling of the court.
  • Foster Child, shall mean a child who has been placed in foster care with an individual or institution for the purpose of guidance, upkeep, education, and healthcare due to the fact that one or both of his parents are unable to guarantee his proper development and growth.
  • Parental Rights, shall mean the rights of a child's parents to care for, educate, maintain, develop, protect and ensure the growth and development of a child in accordance with his religion, talents and interests.
  • Rights of Children, shall mean those human rights pertaining of children that must be guaranteed, protected and complied with by parents, families, the goverment and the state.
  • Society, shall mean individuals, families, groups and charitable and/or community organizations.
  • Counselor, shall mean a social worker who has professional competence in his respective field.
  • Special Protection, shall mean protection of children in emergency situations, children who find themselves in contact with the law, children from minority and isolated groups, children being economically or sexually exploited, child victims of the misuse of narcotics, alcohol, phychotropic substances and other addictive substances, child victims of kidnapping, sale and trading, child victims of physical, sexual and/or mental violence, disabled children, child victims of abuse, and neglected/abandones children.
  • Person, shall mean an individual person or body corporate.
  • Government, shall mean both the central and local governments.

The Child Protection Law is based on the four principles of the CRC :

  1. Non discrimination
  2. The best interests of child
  3. The right to life, survival and development
  4. The rights to participation

In this law, states the Government, legal enfources, the community, family, and parents are the responsible parties for the protection of children, and part of stregth of the law comes from the inclusion os specific sanctions against violators of children's rights.

Sunday, April 6, 2008

Child Protection





Children represent the future of the nation and constitute the generation that will take over the mantle of advancing the hopes of the nation. Thus, every child is entitled to live, grow and develop, to participate in society, to be protected from violance and discrimination, and to have his/her rights and liberties upheld.Law Number 23 Year 2002 on Child Protection that is capable of providing a juridical basis for the fulfillment of such obligations and responsibilities. The provisions of this Law have been based upon the consideration that the protection of children, in all its aspect, forms part and parcel of the national development effort, particularly as regards the advancement of national and state life.



For those, parents, the family, the teachers, and the community are all responsible for protecting and upholding the rights referred to above in accordance with the obligations that have been respectively placed upon them by law. In addition, the state and the government are also responsible for providing facilities and access to children so as to ensure their optimum growth and development.


Responsibilities of parents, the family, the teachers, the community, the government and the state take the form of series of activities that must be undertaken on an ongoing basis so as to ensure the protection of children's rights. These activities must sustained and be directed at ensuring the proper physical, mental, spiritual and social growth and developmnet of children. All this necessary soa as to ensure the best possible life for child as potential leader of the nation, and to make sure that he grows up to be reselient, imbued with the spirit of patriotism and the values of Pancasila, and is of good moral character, as well as being determined to uphold the unity and integrity of the nations and state.


The efforts toprotect children need to be undertaken as early as possible, that is to say, from the time the child is still in the womb, and must continue the child reaches the age maturity (18 years). Based upon the overall and comprehensive protection of children, this law assigns the obligation to protect children in accordance with the following principes :



  • Non Discrimination


  • The best interests of the child


  • The rights to life, continuity of life, and development


  • Respect for the opinions of child

In encouraging the development and protection of children, the community must be afforded a role through the efforts undertaken by child protection institutions, religious institutions, non-governmental organizations, community organizations, charitable organizations, business, the mass media and educational institusions (the teachers).

Children rights



All children have equal rights :

  • Irrespective of the country in which the child is born

  • whoever may the parents of the child

  • whether the family of the child is rich or poor

  • whatever may the colour of the child, black or white

  • whether the child is a girl or a boy

  • all children of the world have equal rights

  • send all children to school prevent and eliminate child labour and child prostitution.

One of the principal of Convention On The Rights Of The Child is respect for the views of the child.



The child shall have the right to freedom of expression, this right shall include freedom to seek, receive and impart information and ideas of all kinds, regardless of frointers, either orally, in writing or print, in the form of art, or through any other media of the child's choice.



Dalam kehindupan sehari-hari, seringkali kita dihadapkan pada banyak kenyataan ada begitu banyak anak-anak yang mengalami perlakuan yang salah, anak-anak yang mendapatkan banyak kekerasan, baik dari keluarga, masyarakat maupun guru. Sebagian lainnya di eksploitasi secara ekonomi dan seksual, diperjualbelikan selayaknya barang dagangan. Dalam situasi seperti itu, pendapat anak, suara anak tidak pernah didengarkan, apalagi dihargai, cenderung disepelekan dan dilecehkan, sehingga mempengaruhi haknya untuk dapat tumbuh dan berkembang secara optimal sesuai dengan potensinya. Kerentanan anak terhadap kekerasan terkait dengan usia mereka dan kemampuan berkembangnya. Beberapa anak secara khusus rentan karena perbedaan jender, ras, asal-usul etnis, ketidakmampuan/ketunaan atau status sosialnya.

Lingkungan dimana kekerasan terhadap anak seringkali terjadi di :
  1. Lingkungan rumah dan keluarga.
  2. Lingkungan sekolah dan lingkungan pendidikan.
  3. Lingkungan institusi peradilan dan pengasuhan.
  4. Lingkungan kerja.
  5. Lingkungan masyarakat.
Kekerasan yang dialami oleh anak-anak, umumnya meliputi 3 (tiga) kategori, yaitu :
  1. Kekerasan fisik
  2. Kekerasan mental
  3. Kekerasan seksual
Upaya-upaya untuk menangani kekerasan terhadap anak sering kali bersifat reaktif, berfokus pada gejala dan akibat-akibat yang timbul, bukan penyebabnya. Strategi yang dilakukan cenderung terpecah-pecah, bukannya terintegrasi dan sumber-sumber yang dialokasikan untuk menjawab permasalahan tidaklah memadai. Selain itu, komitmen internasional sebagai upaya global untuk melindungi anak dari kekerasan sering tidak diterjemahkan menjadi tindakan-tindakan di tingkat nasional.

Pada umumnya legislasi mengenai kekerasan terhadap anak berkonsentrasi pada kekerasan seksual atau kekerasan fisik dan tidak memperhitungkan kekerasan psikologis. Perlindungan dan hukuman menjadi fokusnya, sementara masalah pemulihan, reintegrasi, dan santunan hanya sedikit sekali diperhatikan.
Adalah menjadi tugas dan tanggungjawab kita bersama, baik pemerintah/negara, lembaga profesi, institusi terkait, serta individu di setiap lapisan masyarakat untuk secara bersama-sama merubah dan mentransformasikan cara berpikir yang memandang normal dan wajar kekerasan terhadap anak-anak Kampanye atau penyebaran informasi untuk khalayak diperlukan agar masyarakat semakin peka terhadap efek-efek merugikan dari kekerasan terhadap anak. Peliputan media, di dorong untuk mempromosikan nilai-nilai non kekerasan dan pelaksanaan panduan untuk memastikan dihormatinya secara penuh hak-hak anak.

Tidak ada satupun kekerasan terhadap anak dapat dibenarkan, tidak ada kekerasan terhadap anak dalam bentuk apapun yang dapat dimaafkan. Anak seharusnya selalu menerima perlindungan lebih dibandingkan orang dewasa. Semua kekerasan terhadap anak sesungguhnya dapat dicegah. Terhadap pelaku tindak kekerasan terhadap anak perlu diberikan sanksi yang tegas, dan hal tersebut menjadi tanggungjawab negara, sebagai penanggung jawab hukum, sementara segenap lapisan masyarakat, perorangan, individu dan lembaga hendaknya berbagi tanggungjawab untuk mengutuk dan mencegah kekerasan terhadap anak, dan merespon anak-anak korban kekerasan.


Sanggupkah kita menatap mata anak-anak ....
bila kita terus merestui dan mendorong,
terjadinya kekerasan
dalam bentuk apapun ...
terhadap mereka ????
Powered By Blogger
 
Copyright 2009 CHILDREN ARE THE FUTURE Powered by Blogger
Blogger Templates created by Deluxe Templates
Sponsored by: Premium Templates | Premium Themes. Distributed by: blog template